Selasa, 02 September 2008

SISA KEJAYAAN ERA CENGKEH

BANGUNAN Koperasi Ahmadi & CO masih tegak. Aktivitas keseharian pun masih berjalan. Tapi sudah tak seperti dulu lagi, ketika kebesaran perusahaan ini bahkan sampai memiliki cabang di Singapura.Ada sisa kejayaan yang masih tertinggal: sebuah prasasti bertanda tangan Muhammad Hatta, Wakil Presiden pertama RI. Sekitar 1949 Bung Hatta datang ke Pulau Midai, satu dari sekian ratus pulau-pulau kecil di gugus perairan Natuna. Selain melihat kehidupan di pulau perbatasan RI dengan Vietnam tersebut, Bapak Koperasi Indonesia juga dibuat takjub dengan keberadaan serikat dagang orang Melayu: Ahmadi & CO tersebut. Diperkirakan, Ahmadi & CO adalah sebuah koperasi yang tumbuh pada deret paling awal di republik yang sempat bercita-cita membangun ekonomi kerakyatan melalui koperasi ini.Kolektor naskah-naskah kuno di Pulau Penyengat Raja Malik, punya cerita tersendiri tentang kedatangan Bung Hatta ke Tanah Midai. Begitu sampai, Bung Hatta langsung masuk ke dalam kantor dn memeriksa buku-buku laporan keuangan perusahaan. Di situ, Bung Hatta dibuat terkagum-kagum. “Ini sebuah lembaga ekonomi pertama di Nusantara yang manajemennya sangat rapi,” kata Malik menirukan kira-kira ucapan Bung Hatta saat itu.Serikat dagang itu berawal dari sekumpulan pemukir, penulis dan politisi yang tergabung dalam Rusdiyah Club di Pulau Penyengat. Kajian diskusi Rusdiyah saat itu masih seputar politik dan kebudayaan. Namun pada dekade sekitar 1890-an, para pemikir di Rusdiyah merasa perlu untuk mengembangkan sayap bisnis, dengan tujuan dapat menggerakkan roda ekonomi dan sekaligus memberikan penghasilan kepada anggota keluarga kerajaan.Maka disepakatilah pembentukan serikat dagang yang bernama Asyarikatul Ahmadiyah. Dalamn perkembangannya, berdasarkan survei yang mereka lakukan ke berbagai penjuru pulau-pulau di Kerajaan Riau Lingga, para pemikir Rusdiyah Club sepakat memindahkan usaha dagang mereka ke Midai. Komoditas cengkeh dan kopra yang tumbuh subur di tanah Midai menjadi faktor lahirnya keputusan itu.Meski luasnya hanya sekitar 18 kilo meter kalau dikeliling, tapi tanah Midai dikaruniai kesuburan luar biasa. Di antara deretan pepohonan cengkeh, kelapa masih bisa tumbuh subur.Seorang penduduk Midai, Andri Chandra memberi ilustrasi kesuburan tanah di Negeri Cengkeh itu. “Biasanya, kalau orang habis tanam ubi, mau tanam tanaman lain, dibiakan dulu. Tapi di sini (Midai), tak perlu. Bisa langsung tanam saja,” kata Andri, yang berprofesi sebagai petani itu.Maka pada 1906, didirikanlah Ahmadi & CO. CO adalah kependekan corporation. Nama Ahmadi sendiri diambil dari salah satu pendirinya, yang sekaligus pemegang saham utama, yakni Raja Ahmad Ibnu Umar.Sulit dilacak sejak kapan penduduk Midai mulai menanam cengkeh. Tetapi, begitu komoditas itu tumbuh subur dan semakin terkenal kualitasnya ke seantero negeri, Ahmadi & CO pun sukses besar. Serikat dagang ini sebetulnya punya anak perusahaan di Singapura, Ahmadi Press yang bergerak di bidang percetakan Tapi diperkirakan, omset penjualan Cengkeh dari Midai menjadi penyumbang terbesar keuntungan serikat dagang tersebut. Saat itu, Ahmadi & CO memasarkan cengkehnya ke Singapura, yang kemudian diteruskan ke berbagai penjuru dunia, sampai ke Turki

Rabu, 13 Agustus 2008

Kabupaten Natuna

PENEMUAN kandungan gas alam cair tahun 1970-an di Kabupaten Natuna, mengukuhkan Indonesia sebagai produsen dan pengekspor LNG (Liquefied Natural Gas) terbesar di dunia. Dengan jumlah 45 triliun kaki kubik (TFC) mampu menghasilkan rata-rata 38 juta ton LNG per tahun selama dua dekade.

DARI total cadangan LNG di negara ini, diperkirakan 40 persen berada di lepas pantai Natuna. Meski terbukti memiliki kandungan CO2 tinggi, yaitu 71 persen, cadangan gas bersih di dalamnya tiga kali lebih banyak dibanding cadangan gas Arun di Sumatera Utara. Beberapa perusahaan yang mengelola hasil tambang tersebut, yaitu Premiere Oil Natuna Sea Ltd, Conoco Indonesia Inc, Gulf Resources Ltd, semuanya dari AS.

Natuna, dilihat dari potensi hasil tambang, tampak bergelimang harta. Sayangnya, kehidupan sebagian besar penduduk masih jauh dari sejahtera. Di tahun 2000 tak kurang 60 persen penduduk masuk kategori miskin yang tersebar di seluruh kecamatan. Paling banyak di Kecamatan Midai.

Rendahnya tingkat pendidikan dibarengi minimnya keterampilan merupakan salah satu penyebab sulitnya masyarakat Natuna terlibat dalam pengolahan hasil tambang berteknologi tinggi. Di antara penduduk yang bekerja, 2,2 persen berpendidikan SMU ke atas. Selebihnya lulusan SD atau SMP.

Mau tak mau menggarap tanah dan ladang atau menjadi nelayan menjadi pilihan utama. Di atas tanah berbukit dan bergunung batu di wilayah yang menjadi kabupaten tahun 1999 ini, harapan hidup sebagian besar masyarakat digantungkan. Meski kurang menjanjikan, 60 persen penduduk menghidupi keluarga dari hasil pertanian, termasuk perikanan.

Dari angka tersebut tergambar rendahnya kualitas hidup masyarakat Natuna. Pasalnya, dengan memperhitungkan hasil pertambangan, kontribusi pertanian yang sesungguhnya delapan persen dari total kegiatan ekonomi Rp 2,88 triliun.

Sektor pertanian yang mencakup pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan digarap dari tahun ke tahun. Hasil kerja para petani dan nelayan lima tahun terakhir-tanpa menyertakan minyak dan gas bumi-rata-rata mampu menggerakkan separuh dari total kegiatan ekonomi Natuna. Tahun 2002 tak kurang Rp 230 miliar atau 57 persen kegiatan ekonomi dari bidang ini, 43 persen di antaranya dari perikanan.

Padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, talas, dan kacang tanah adalah tanaman yang banyak diusahakan masyarakat. Hasilnya memang belum seberapa. Produksi ubi kayu, misalnya, tertinggi di antara kelima komoditas tersebut. Meskipun tertinggi, produksi ubi kayu rata- rata berkisar 1.500 ton per tahun. Pernah di tahun 1998 hasilnya 2.011 ton. Setelah itu belum pernah memuaskan.

Tidak semua kecamatan layak sebagai tempat bercocok tanam. Kecamatan Siantan, Palmatak, dan Midai, misalnya, tidak bisa menghasilkan tanaman pangan serta sayur-sayuran. Daerah-daerah tersebut hanya sesuai untuk areal perkebunan seperti buah-buahan, karet, kelapa, dan cengkeh. Di antara berbagai macam buah seperti mangga, nangka, pepaya, dan nanas, hasil panen pisang paling menggembirakan. Jumlahnya pernah mencapai 7.820 ton tahun 1999. Sayangnya setahun kemudian anjlok hingga menjadi 6.812 ton.

Kelapa merupakan jenis tanaman perkebunan yang cukup banyak di sana. Arealnya di tiap kecamatan dengan total menempati lahan 25.998 hektar. Daerah perkebunan kelapa yang tergolong luas di kecamatan Siantan 6.162 hektar dan Bunguran Timur 6.824 hektar.

Nasib tanaman padi tak beda jauh dengan ubi kayu. Dengan rata-rata 1.200 ton tiap tahun, daerah ini belum mampu mencukupi seluruh kebutuhan beras. Sebanyak 20 hingga 30 persen beras harus didatangkan dari luar daerah. Meski perluasan lahan sawah telah dilakukan, pengaruhnya belum bisa mendongkrak hasil panen. Kondisi tanah, keterampilan, dan sistem tanam yang masih sederhana menyebabkan rendahnya produktivitas padi. Malahan selama lima tahun sejak 1998 produktivitasnya terus turun dari 3,7 ton tahun 1998 menjadi 2,6 ton per hektar tahun 2002. Kecamatan Jemaja, Bunguran Barat, Bunguran Timur, dan Serasan, merupakan sentra padi di kabupaten ini.

Faktanya, Natuna sulit mengandalkan hasil tanah. Tetapi keberadaannya sebagai daerah kepulauan memberi peluang untuk bergerak di sektor perikanan. Luas perairan yang jauh lebih besar dari daratan, yaitu 97,7 persen menyimpan berbagai komoditas yang sangat potensial. Di dalamnya terdapat berbagai jenis ikan yang ternyata mampu mendatangkan rezeki bagi keluarga nelayan.

Napoleon, kerapu, tongkol, lobster, kuwe, kurisi, tamban, cumi-cumi, teri, dan kepiting adalah jenis-jenis komoditas yang banyak dihasilkan. Empat jenis yang disebutkan pertama adalah yang paling diandalkan. Tahun 2002, dari ikan napoleon 11.826 ton diperoleh pemasukan Rp 1,1 miliar. Kemudian disusul ikan kerapu 23.505 ton senilai Rp 0,9 miliar.

Natuna belum bisa mengolah lebih lanjut hasil-hasil laut. Lagi pula permintaan pasar lebih banyak berupa ikan hidup dan ikan segar. Selama ini Hongkong dan Singapura adalah negara-negara tujuan utama ekspor perikanan. Beberapa negara lainnya, yaitu Amerika Serikat, Australia, Cina, Jepang, Selandia Baru, dan Thailand, juga merupakan pasar yang potensial bagi Natuna.

Dibanding luas perairan, produksi kelautan Natuna belum tergolong memuaskan. Minimnya modal, sarana, dan prasarana yang dimiliki menjadi kendala yang dihadapi nelayan di sana. Dari 10.482 kapal penangkap ikan yang beroperasi, 30 persen masih berupa kapal tanpa motor.

Dari segi ketersediaan sarana, pelabuhan Natuna tidak kekurangan. Pelabuhan Laut Ranai, Sedanau, Midai, Serasan, Letung, dan Tarempa, menyediakan fasilitas bongkar muat orang dan barang.

Nila Kirana/Litbang Kompas

Kijang, Dulu dan Sekarang (1)

Kota yang Berawal dari Penggalian Bouksit

KOTA Kijang dan bouksit adalah dua sisi dari sekeping mata uang yang sama. Cerita orang-orang tua di sana, Kijang hanya berawal dari pemukiman lima keluarga di Kampung Tun Tan, atau lebih dikenal dengan istilah Dapur Arang. Tapi kemudian, 1924, penjajah Belanda dengan semboyan gold, glory and gospel, mendaratkan ekpedisi pertama di daerah ini untuk mencari timah. Bagaimana ekspedisi itu kemudian menemukan “emas kuning”, kisah ini akan dituliskan secara bersambung.

MESIN tik tua buatan tahun 1970-an di ruang tamu rumah bercat kuning itu sudah mulai berdebu. Ada tumpukan kertas dan buku di sampingnya, yang juga tak kalah berdebu. Pemiliknya, Abdul Muin Husin (69) sesekali duduk di belakang mesin tik itu, sekedar membaca tumpukan buku, atau juga mengetik.

Muin, sapaan ayah dari enam anak dan kakek dari 19 cucu itu masih menyimpan semuanya. Ia tidak asli penduduk Kijang, tapi diingatannya, sejarah tentang kota yang kini menjadi pusat pemerintahan sementara Kabupaten Bintan itu tersimpan rapi. Kijang boleh saja terus berbenah, bahkan berlari kencang, dari sebuah kota kecamatan menjadi kota sedang dengan pabrik dan toko serba ada yang menghiasi sudut-sudutnya.

Tapi di mata Muin, Kijang tetaplah sebuah kota yang berawal dari sebuah tim ekpedisi Belanda untuk mencari timah di utara Pulau Bangka. Kisah itu semua bermula tahun 1920. Sebuah perusahaan Belanda yang mengeruk timah di Pulau Belitung, NV. GMB terus melakukan penelitian terhadap kemungkinan adanya kandungan biji timah di pulau-pulau yang berada di sebelah selatan Semenanjung Melaka. Dari berbagai kontak dengan penduduk setempat, termasuk di pulau Lingga, Singkep dan Karimun, diperoleh kabar positif. Karena itu penelitian pun dilakukan, termasuk sampai di Bintan.

“Tahun 1924 NV GMB mengirimkan tim ekpedisi,” tutur Muin, yang kini juga bergiat di Dewan Kesenian Kabupaten Bintan sebagai Ketua Bidang Seni dan Budaya. Pendaratan tim itu dilakukan di Kampung Tun Tan, yang masuk wilayah Sungai Enam Lama. Di kawasan ini selanjutnya berdiri tempat-tempat pembuatan arang dari kayu bakau yang diekspor ke Singapura. Karena itu kawasan ini kemudian dikenal dengan sebutan Dapur Arang.

Dalam penelitiannya tentang kandungan di perut bumi Bintan itu, tim menurut Muin menginap di rumah penduduk. Seorang penduduk, Amat S, cucu Lebai Idris, yang rumahnya juga ditumpangi pimpinan rombongan, akhirnya diajak bergabung dalam tim. Amat diajak bergabung karena diperlukan tenaganya sebagai penunjuk jalan. Dari Amat lah kemudian satu persatu sejarah itu terjadi.

Pertama sekali, Amat membawa rombongan menyeberang Sungai Kalang Tua dan menyusur jalan setapak menuju Sungai Kolak. Bunga Kolak yang tumbuh di sepanjang sungai akhirnya ditabalkan sebagai nama sungai itu oleh penduduk setempat. Sejak itu, kemudian kawasan di sekitar sungai itu pun dinamakan Sungai Kolak. “Itu sebelum diubah namanya menjadi Kijang,” kata Muin.

Setelah itu tim mendirikan barak-barak darurat di tepian sungai dan melakukan serangkaian penelitian topografi, pembuatan sumur uji, dan pengambilan sampel. Sample kemudian dikirim ke Belitung, yang waktu itu masih dilafalkan Billiton. Hasil penelitian di laboratorium NV GMB Billiton itulah yang akhirnya menyatakan bahwa kandungan perut bumi Bintan bukanlah timah, melainkan bouksit, yang jumlahnya mungkin bisa untuk membuat panci di dapur-dapur puluhan juta rumah di Eropa. (trisno aji putra/bersambung)

Diposting oleh trisnoajiputra.blogspot.com di 8/04/2008 10:23:00 PM

Midai: Sisa Kejayaan Negeri Cengkeh

BANGUNAN Koperasi Ahmadi & CO masih tegak. Aktivitas keseharian pun masih berjalan. Tapi sudah tak seperti dulu lagi, ketika kebesaran perusahaan ini bahkan sampai memiliki cabang di Singapura.
Ada sisa kejayaan yang masih tertinggal: sebuah prasasti bertanda tangan Muhammad Hatta, Wakil Presiden pertama RI. Sekitar 1949 Bung Hatta datang ke Pulau Midai, satu dari sekian ratus pulau-pulau kecil di gugus perairan Natuna. Selain melihat kehidupan di pulau perbatasan RI dengan Vietnam tersebut, Bapak Koperasi Indonesia juga dibuat takjub dengan keberadaan serikat dagang orang Melayu: Ahmadi & CO tersebut. Diperkirakan, Ahmadi & CO adalah sebuah koperasi yang tumbuh pada deret paling awal di republik yang sempat bercita-cita membangun ekonomi kerakyatan melalui koperasi ini.
Kolektor naskah-naskah kuno di Pulau Penyengat Raja Malik, punya cerita tersendiri tentang kedatangan Bung Hatta ke Tanah Midai. Begitu sampai, Bung Hatta langsung masuk ke dalam kantor dn memeriksa buku-buku laporan keuangan perusahaan. Di situ, Bung Hatta dibuat terkagum-kagum. “Ini sebuah lembaga ekonomi pertama di Nusantara yang manajemennya sangat rapi,” kata Malik menirukan kira-kira ucapan Bung Hatta saat itu.
Serikat dagang itu berawal dari sekumpulan pemukir, penulis dan politisi yang tergabung dalam Rusdiyah Club di Pulau Penyengat. Kajian diskusi Rusdiyah saat itu masih seputar politik dan kebudayaan. Namun pada dekade sekitar 1890-an, para pemikir di Rusdiyah merasa perlu untuk mengembangkan sayap bisnis, dengan tujuan dapat menggerakkan roda ekonomi dan sekaligus memberikan penghasilan kepada anggota keluarga kerajaan.
Maka disepakatilah pembentukan serikat dagang yang bernama Asyarikatul Ahmadiyah. Dalamn perkembangannya, berdasarkan survei yang mereka lakukan ke berbagai penjuru pulau-pulau di Kerajaan Riau Lingga, para pemikir Rusdiyah Club sepakat memindahkan usaha dagang mereka ke Midai. Komoditas cengkeh dan kopra yang tumbuh subur di tanah Midai menjadi faktor lahirnya keputusan itu.
Meski luasnya hanya sekitar 18 kilo meter kalau dikeliling, tapi tanah Midai dikaruniai kesuburan luar biasa. Di antara deretan pepohonan cengkeh, kelapa masih bisa tumbuh subur.
Seorang penduduk Midai, Andri Chandra memberi ilustrasi kesuburan tanah di Negeri Cengkeh itu. “Biasanya, kalau orang habis tanam ubi, mau tanam tanaman lain, dibiakan dulu. Tapi di sini (Midai), tak perlu. Bisa langsung tanam saja,” kata Andri, yang berprofesi sebagai petani itu.
Maka pada 1906, didirikanlah Ahmadi & CO. CO adalah kependekan corporation. Nama Ahmadi sendiri diambil dari salah satu pendirinya, yang sekaligus pemegang saham utama, yakni Raja Ahmad Ibnu Umar.
Sulit dilacak sejak kapan penduduk Midai mulai menanam cengkeh. Tetapi, begitu komoditas itu tumbuh subur dan semakin terkenal kualitasnya ke seantero negeri, Ahmadi & CO pun sukses besar. Serikat dagang ini sebetulnya punya anak perusahaan di Singapura, Ahmadi Press yang bergerak di bidang percetakan Tapi diperkirakan, omset penjualan Cengkeh dari Midai menjadi penyumbang terbesar keuntungan serikat dagang tersebut. Saat itu, Ahmadi & CO memasarkan cengkehnya ke Singapura, yang kemudian diteruskan ke berbagai penjuru dunia, sampai ke Turki.

Diposting oleh trisnoajiputra.blogspot.com di 12/07/2007 05:02:00 AM